PENGARUH BUDAYA POP KOREA TERHADAP EKSISTENSI KEBUDAYAAN ASLI INDONESIA DI KALANGAN REMAJA KOTA TEGAL
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan
adalah hasil karya pemikiran manusia yang dilakukan dengan sadar dalam
kehidupan kelompok. Unsur-unsur potensi budaya yang ada pada manusia
antara lain pikiran (cipta), rasa, dan kehendak (karsa). Untuk menjadi
manusia sempurna, ketiga unsur kebudayaan tersebut tidak dapat
dipisahkan. Dalam hubungan ini Ki Hajar Dewantara menyatakan bahw`
“Kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat”.
Kebudayaan
bersifat dinamis. Kebudayaan selalu berubah seiring perkembangan zaman.
Perubahan kebudayaan ini telah terjadi sejak zaman pra-sejarah yaitu
berubahnya pola hidup berburu dan meramu menjadi pola hidup bercocok
tanam tingkat lanjut dan perundagian.
Perubahan
kebudayaan disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor
pendukungnya adalah adanya kontak dengan kebudayaan lain. Seperti
masuknya kebudayaan India ke Nusantara (Indonesia) pada awal zaman
sejarah. Kebudayaan India tersebut mempengaruhi kepercayaan dan ritual
masyarakat, seni dan teknologi, serta tata cara administrasi
pemerintahan yang cukup tinggi.
Perubahan
kebudayaan seperti di atas tidak dapat kita hindari. Pada era
modernisasi, perubahan kebudayaan berlangsung sangat cepat karena
pengaruh kemajuan teknologi. Budaya asing dapat masuk ke Indonesia
sewaktu-waktu dan membuat perubahan yang signifikan mulai dari pola
pikir, perilaku, sampai pola hidup masyarakat.
Budaya
asing yang sangat besar pengaruhnya terhadap kebudayaan di Indonesia
adalah budaya barat. Budaya barat masuk ke berbagai sektor termasuk cara
berpakaian. Budaya pakaian orang Indonesia yang tertutup sebagai simbol
kepribadian orang timur mulai bergeser. Terutama di kalangan para
remaja. Gaya berpakaian remaja menjadi lebih terbuka dan norak.
Bahkan, di kota-kota besar seperti Jakarta, gaya hidup bebas yang
merupakan gaya pop barat sudah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari.
Seiring
berubahnya waktu masuknya budaya pop sekarang ini tidak hanya di
dominasi oleh budaya barat. Asia pun sudah mulai menjadi pengekspor
budaya pop. Selain Jepang, Korea mulai bertindak sebagai pengekspor
budaya pop melalui tayangan hiburan dan menjadi saingan berat bagi
Amerika dan negara-negara Eropa. Hal ini sejalan dengan kemajuan
industri hiburan Korea dan kestabilan ekonomi mereka.
Selama
sepuluh tahun terakhir, demam budaya pop Korea melanda Indonesia.
Fenomena ini dilatarbelakangi Piala Dunia Korea-Jepang 2002 yang
berakhir dengan masuknya Korea sebagai kekuatan empat besar dunia.
Kesuksesan Korea di Piala Dunia 2002 semakin menaikkan prestise Korea di
mata dunia.
Berbeda
dengan budaya pop Jepang yang hanya menjangkau anak-anak dan remaja,
budaya pop Korea mampu menjangkau segala usia, mulai dari anak-anak
sampai orang dewasa. Menurut Kim Song Hwan, seorang pengelola sindikat
siaran televisi Korea Selatan, produk budaya Korea berhasil menjangkau
penggemar di semua kalangan terutama di Asia disebabkan teknik pemasaran
Asian Values-Hollywood Style. Artinya, mereka mengemas
nilai-nilai Asia yang dipasarkan dengan gaya modern. Istilah ini mengacu
pada cerita-cerita yang dikemas dengan nuansa kehidupan Asia, namun
pemasarannya memakai cara internasional dengan mengedepankan penjualan
nama seorang bintang atau menjual style.
Globalisasi budaya pop Korea atau yang lebih dikenal dengan Korean Wave (Hallyu) ini berhasil mempengaruhi
kehidupan masyarakat dunia. Hasil diskusi dalam rangka memperingati
hari jadi Jurusan Korea di Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa
Korea pada abad 21 berhasil bersaing dengan Hollywood dan Bollywood
dalam memasarkan budaya ke dunia luar. Berbagai produk budaya Korea
mulai dari drama, film, lagu, fashion, hingga produk-produk industri
tidak hanya mewabah di kawasan Asia tetapi sudah merambah ke Amerika
dan Eropa.
Di
kota Tegal, banyak dijumpai remaja yang melakukan imitasi terhadap
budaya pop Korea tersebut, mulai dari gaya rambut, model pakaian,
aksesoris, sampai pola hidup dan cara berinteraksi dengan teman sebaya.
Hal ini ditegaskan oleh pernyataan teman-teman remaja kepada peneliti
bahwa mereka sangat menyukai budaya pop Korea seperti film Korea, Boy Band Korea, sampai bintang top Korea. Salah satu alasannya adalah keindahan gaya atau style para pemain film dan boy band, keindahan penampilan dan fisik bintangnya, serta alur cerita film Korea yang dramatis dan unik.
Hal
tersebut menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti eksistensi budaya
asli Indonesia di kalangan remaja Kota Tegal berkaitan dengan merebaknya
budaya pop Korea di tanah air dan sikap imitasi yang berlebihan dari
kalangan remaja kota Tegal. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan judul “PENGARUH BUDAYA POP KOREA TERHADAP EKSISTENSI
KEBUDAYAAN ASLI INDONESIA DI KALANGAN REMAJA KOTA TEGAL”.
1.2 Permasalahan Penelitian
Penelitian
ini berfokus pada kebudayaan Pop Korea, kebudayaan asli Indonesia, dan
pola perilaku remaja terhadap kebudayaan Pop Korea. Telaah fokus
dirumuskan sebagai berikut:
* Bagaimanakah pola perilaku remaja kota Tegal terhadap budaya Pop Korea?
* Bagaimanakah pengaruh budaya Pop Korea terhadap perilaku sosial remaja kota Tegal?
* Bagaimanakan eksistensi kebudayaan asli Indonesia setelah budaya Pop Korea merebak di kalangan remaja kota Tegal?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara
umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan definisi tentang
pengaruh kebudayaan Pop Korea terhadap eksistensi kebudayaan asli
Indonesia. Selanjutnya secara khusus tujuan yang ingin dicapai adalah
untuk mendapatkan gambaran tentang:
* Pola perilaku remaja kota Tegal terhadap budaya Pop Korea.
* Pengaruh budaya Pop Korea terhadap perilaku sosial remaja kota Tegal.
* Eksistensi kebudayaan asli Indonesia setelah budaya Pop Korea merebak di kalangan remaja kota Tegal.
1.4 Manfaat Penelitan
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk berbagai kepentingan bagi pihak lain, antara lain:
1. Bagi Pemerintah
Hasil
penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan pemerintah agar
masuknya kebudayaan asing tidak sampai menggeser kebudayaan asli
Indonesia.
2. Bagi Lembaga Pendidikan Indonesia
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi semua lembaga pendidikan di
Indonesia bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hendaknya
menjadi wadah untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan asli
Indonesia.
3. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini akan menambah khasanah kepustakaan yang berkaitan dengan eksistensi kebudayaan Indonesia.
II. LANDASAN TEORI
2.1 Kebudyaan
2.1.1 Hakikat Kebudayaan
“Budaya”
berasal dari kata majemuk budi daya atau kekuatan dari akal, akal atau
budi itu mempunyai unsur-unsur cipta atau pikiran, rasa, karsa atau
kehendak. Hasil dari ketiga unsur itulah yang disebut kebudayaan. Dengan
demikian, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa.
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa Sansekerta) budhayah yang
merupakan bentuk jamak kata “budhi” yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin Colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut, yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekanto, 2006: 150).
Orang
yang pertama kali merumuskan definisi kebudayaan menurut Effendhie
(1999: 2) adalah E.B Taylor (1832 – 1917), guru besar Antropologi di
Universitas Oxford pada tahun 1883. Pada tahun 1871, E.B Taylor
mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut: “Kebudayaan adalah mencakup
ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat istiadat dan
kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat”.
Sementara
itu, beberapa ilmuwan Indonesia juga telah membuat definisi kebudayaan.
Koentjaraningrat, guru besar Antropologi di Universitas Indonesia
mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar”.
Berdasarkan
uraian di atas, disimpulkan bahwa kebudayaan adalah semua hasil cipta,
rasa dan karsa manusia dalam kehidupan masyarakat yang diperoleh dengan
cara belajar.
2.1.2 Unsur-unsur Budaya
Soekanto
dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar” (2006: 153)
mengemukakan bahwa kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari
unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari
suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan.
Pada diri manusia terdapat unsur-unsur potensi budaya (Suparto, 1985: 54) seperti:
*
Pikiran (Cipta), yaitu kemampuan akal pikiran yang menimbulkan ilmu
pengetahuan. Dengan akal pikirannya manusia selalu mencari, mencoba
menyelidiki, dan kemudian menemukan sesuatu yang baru.
*
Rasa, dengan pancainderanya manusia dapat mengembangkan rasa estetika
(rasa indah), dan ini menimbulkan karya-karya seni atau kesenian.
* Kehendak (karsa), manusia selalu menghendaki akan kesempurnaan hidup, kemuliaan, dan kesusilaan.
Dengan
potensi akal pikir (cipta), rasa, dan karsa itulah manusia berbudaya.
Di samping ketiga unsur tersebut, Melville J. Herskovits juga
mengemukakan unsur-unsur kebudayaan yang lain, yaitu:
1. Alat-alat teknologi;
2. Sistem ekonomi;
3. Keluarga;
4. Kekuasaan politik.
Pakar
sosiologi lainnya yang merumuskan unsur-unsur kebudayaan adalah
Bronislaw Malinowski, yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori
fungsional dalam antropologi. Unsur-unsur tersebut antara lain:
* Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya;
* Organisasi ekonomi;
* Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama;
* Organisasi kekuatan.
Masing-masing
unsur tersebut digunakan untuk kepentingan ilmiah dan analisanya
diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur pokok atau unsur-unsur besar
kebudayaan, yang lazim disebut cultural universal.
Istilah ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal,
artinya unsur-unsur tersebut dapat dijumpai pada setiap kebudayaan yang
ada di seluruh dunia.
Adapun tujuh kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals (Soekanto 2006: 154), yaitu:
*
Peralatan dan perkembangan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat
rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor, dan sebagainya);
* Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya);
*Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan);
* Bahasa (lisan maupun tertulis);
* Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya);
* Sistem pengetahuan;
* Religi (sistem kepercayaan).
Cultural universal tersebut
di atas dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil.
Ralph Linton menyebutnya sebagai kegiatan kebudayaan atau cultural activity.
2.2 Budaya Pop Korea
2.2.1 Hakikat Budaya Pop
Secara
umum, budaya populer atau sering disingkat budaya pop merupakan budaya
yang ringan, menyenangkan, trendi, banyak disukai dan cepat berganti.
Dalam pandangan John Fiske (1989), agar menjadi budaya populer, sebuah
komoditas budaya haruslah dapat melahirkan ketertarikan pada banyak
orang karena budaya pop bukan sekadar barang konsumsi, melainkan sebuah
budaya (http://scribd.com)
Hollyday, dkk (2004) mengemukakan empat karakteristik budaya populer (http://scribd.com), antra lain:
1.Diproduksi oleh industri budaya;
2.Cenderung berlwanan dengan folk culture (warisan budaya tradisional yang sifatnya berorientasi ritual dan non komersial);
3.Keberadaannya diterima di mana-mana;
4. Memenuhi fungsi sosial.
Budaya
populer ini berperan besar dalam mempengaruhi pemikiran seseorang dalam
memahami orang atau kelompok lain karena budaya pop merupakan budaya
yang dapat diterima oleh semua kalangan.
Dilihat
dari sejarahnya, kehadiran budaya pop tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan pembangunan pada abad ke-19 dan abad ke-20. Pada abad
ke-19, pembangunan aspek media massa, khususnya surat kabar dan novel
menjadikan masyarakat dari suatu negara dapat mengakses trend kultur
dari negara lain tanpa ada jarak. Memasuki abad ke-20, penemuan radio,
televisi, dan komputer juga turut berperan dalam penyebaran trend kultur dari satu negara ke negara lain.
Budaya populer sebelum masa industri disebut juga sebagai budaya yang berasal dari budaya rakyat (folk culture).
Ia mengangkat masalah ini melalui pendekatan yang beranggapan bahwa
budaya pop adalah sesuatu yang diterapkan pada “rakyat” dari atas.
Budaya pop adalah budaya otentik “rakyat” yang kemudian berkembang
menajadi sebuah budaya yang populer di tengah masyarakat. Namun, seiring
perkembangan masyarakat industri, budaya pop sekarang dipandang
sebagai budaya massa.
Budaya
massa mulai banyak menarik perhatian teoritikus sejak tahun 1920 dimana
pada tahun tersebut mulai bermunculan sinema dan radio, produksi massal
dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi
liberal di sejumlah negara Barat.
Dengan
demikian, budaya pop merupakan budaya massa yang berkembang di tengah
masyarakat industri. Budaya pop bersifat ringan dan mudah diterima oleh
masyarakat banyak.
2.2.2 Budaya Pop Korea
Pada
awalnya, kajian tentang budaya populer tidak dapat dipisahkan dari
peran Amerika Serikat dalam memproduksi dan menyebarkan budaya Populer.
Negara tersebut telah menanamkan akar yang sangat kuat dalam industri
budaya populer, antara lain melalui Music Television (MTV), McDonald, Hollywood, dan industri animasi mereka (Walt Disney, Looney Toones,
dll). Namun, perkembangan selanjutnya memunculkan negara-negara lain
yang juga berhasil menjadi pusat budaya populer seperti Jepang, Korea
Selatan, Hongkong, dan Taiwan.
Menurut Nissim Kadosh Otmazgin, peneliti dari Center for Southeast Asian Studies
(CSEAS) Kyoto University, Jepang sangat sukses dalam menyebarkan budaya
populernya. Ia mengemukakan bahwa, “Selama dua dekade terakhir,
produk-produk budaya populer Jepang telah diekspor, diperdagangkan, dan
dikonsumsi secara besar-besaran di seluruh Asia Timur dan Asia
Tenggara”. Manga (komik Jepang), anime (film animasi), games, fashion, musik, dan drama Jepang (dorama) merupakan contoh-contoh budaya populer Jepang yang sukses di berbagai negara.
Setelah
Jepang, menyusul Korea Selatan yang melakukan ekspansi melalui budaya
populer dalam bentuk hiburan. Amerika Serikat sebagai negara asal
budaya pop juga mendapat pengaruh penyebaran budaya pop Korea tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan masuknya beberapa artis Korea ke Hollywood. Di samping itu, film-film Korea juga menjadi magnet bagi sutradara Hollywood untuk melakukan re-make film Korea, salah satunya Il Mare yang ceritanya diadopsi Hollywood menjadi Lake House. Kasus di Amerika Serikat tersebut menjadi contoh keberhasilan ekspansi budaya populer Korea di dunia.
Proses penyebaran budaya Korea di dunia dikenal dengan istilah Hallyu atau Korean Wave. Hallyu atau Korean Wave
(“Gelombang Korea”) adalah istilah yang diberikan untuk tersebarnya
budaya pop Korea secara global di berbagai negara di dunia. Pada umumnya
Hallyu mendorong masyarakat penerima untuk mempelajari bahasa Korea dan kebudayaan Korea (http://id.wikipedia.org/wiki/koreanwave).
Dengan
demikian budaya pop Korea merupakan budaya massa yang dapat diterima
oleh semua kalangan dan berkembang melampaui batas negara. Budaya pop
Korea ini bukanlah budaya asli Korea yang bersifat tradisional,
melainkan budaya yang diciptakan sesuai dengan arah selera pasar (market-driven).
2.2.3 Budaya Pop Korea di Indonesia
Berkembangnya budaya pop Korea (Hallyu)
di negara-negara Asia Timur dan beberapa negara Asia Tenggara termasuk
Indonesia menunjukkan adanya transformasi budaya asing ke negara lain.
Berkembangnya budaya pop Korea di Indonesia dibuktikan dengan munculnya
“Asian Fans Club” (AFC) yaitu blog Indonesia yang berisi tentang berita
dunia hiburan Korea. AFC didirikan pada 1 Agustus 2009 oleh seorang
remaja perempuan bernama Santi Ela Sari.
Berdasarkan data statisktik dari situs Pagerank Alexa,
Asian Fans Club adalah situs ‘Korean Intertainment’ terbesar di
Indonesia. Sedangkan dari segi karakteristik demografis, pengunjung
Asian Fans Club hampir seluruhnya berasal dari Indonesia, sebagian besar
merupakan wanita berusia di bawah 25 tahun dengan akses internet rumah
maupun sekolah.
Jika
dilihat dari statistik jumlah pengunjung, sampai 3 Juni 2011, Asian
Fans Club telah dikunjungi sebanyak 42.811.744 pengunjung. Hal ini
berarti Asian Fans Club dikunjungi oleh rata-rata 58.646 orang setiap
hari. Jumlah posting dari juni 2009 sampai juni 2011 mencapai 16.974
post dengan grafik jumlah post yang terus meningkat setiap bulan. Pada
bulan Juni 2009 tercatat berita di post sejumlah 49 berita dalam satu
bulan. Setahun kemudian yaitu di bulan Juni 2010 jumlah post mengalami
meningkat pesat menjadi 629 dalam satu bulan dan terus meningkat sampai
1.542 post dalam bulan Mei 2011 (http://scrib.com/doc).
Data
di atas menunjukkan bahwa budaya pop Korea di Indonesia berkembang
sangat baik. Perkembangan ini dimulai pada tahun 2009 dan berkembang
pesat pada tahun 2011 ini.
Dalam
konsepsi budaya, budaya populer yang dibawa Korea berada dalam dimensi
konkret yang terwujud dalam artifak-artifak budaya seperti lagu, drama,
film, musik, program televisi, makanan, dan bahasa. Sedangkan dimensi
abstrak yang berupa nilai, norma, kepercayaan, tradisi, makna,
terkandung secara tidak langsung dalam artifak budaya tersebut.
Berkaitan dengan Asian Fans Club, budaya pop Korea yang diterima
kelompok penggemar di Indonesia masih terbatas pada dimensi konkret,
yaitu penerimaan terhadap musik, film, drama, dan artis-artis Korea.
Dengan demikian, berkembangnya budaya pop Korea (Korean Wave)
di Indonesia merupakan perwujudan globalisasi dalam dimensi komunikasi
dan budaya. Globalisasi dalam dimensi ini terjadi karena adanya proses
mengkreasikan, menggandakan, menekankan, dan mengintensifikasi
pertukaran serta kebergantungan informasi dalam dunia hiburan, dalam hal
ini adalah dunia hiburan Korea. Kebergantungan ini masih dalal dimensi
konkrit. Meskipun demikian, jika korean wave ini tidak
disertai dengan apresiasi terhadap kebudayaan nasional, maka
dikhawatirkan ekstensi kebudayaan nasional bergeser nilainya menjadi
budaya marginal (pinggiran). Apalagi prosentase terbesar penerima korean wave di
Indonesia adalah remaja. Padahal, remaja merupakan tonggak pembangunan
nasional. Jika remaja sekarang sudah tidak mengenal kebudayaannya
sendiri, maka kebudayaan nasional dapat mengalami kepunahan dan berganti
dengan kebudayaan baru yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kepribadian
nenek moyang negara kita.
Oleh
karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian terhadap eksistensi
kebudayaan asli Indonesia di kalangan remaja. Hal ini bertujuan untuk
mengantisipasi dampak negatif yang muncul akibat dari korean wave agar kebudayaan asli Indonesia masih memiliki nilai budaya yang tinggi di mata masyarakat Indonesia.
2.3 Kebudayaan Indonesia
Kebudayaan
Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang
telah ada sebelum terbentuknya negara Indonesia pada tahun 1945. Seluruh
kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku di
Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia (http://tiankids.web.id).
Menurut J.J. Hoenigman (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya), wujud kebudayaan Indonesia dibedakan menjadi tiga yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak.
Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan berbentuk ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh.
Aktivitas (tindakan)
Aktivitas
adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Dalam hal ini, hal yang diamatai adalah pola
perilaku remaja kota Tegal terhadap budaya pop Korea yang meliputi gaya
berpakaian, model rambut, dan interaksi sosial.
Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik
yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam
masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan didokumentasikan. Dalam penelitian ini, artefak yang akan
diamati adalah benda-benda yang dimiliki oleh remaja kota Tegal
berkaitan dengan budaya pop Korea. Misalnya, poster artis korea, VCD boy band maupun drama/film Korea, pin bergambar artis Korea, kumpulan majalah yang berisi berita-berita dunia hiburan Korea yang dimiliki oleh remaja kota Tegal.
Ketiga
wujud kebudayaan di atas akan digunakan sebagai media untuk mengetahui
tingkat fanatisme remaja kota Tegal terhadap budaya pop Korea sekaligus
sebagai alat ukur eksistensi kebudayaan Indonesia di kalangan remaja
kota Tegal. Kebudayaan Indonesia dapat dikatakan eksis apabila
kebudayaan masih diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati, dan
dihargai (Soekanto 2006: 177) oleh remaja kota Tegal di tengah-tengah
arus globalisasi budaya pop Korea (hallyu atau korean wave).
III. METODOLOGI PENELITIAN
Secara
operasional, metode penelitian adalah cara yang digunakan selama
penelitian berlangsung dari awal sampai akhir. Uraian mengenai metode
yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: (a) Pendekatan
Penelitian, (b) Penentuan Latar Penelitian, (c) Sumber Data dan Metode
Pengumpulan Data.
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif karena berusaha memahami makna
dan memahami secara mendalam perilaku remaja terhadap budaya pop Korea
dan bagaimana pengaruhnya terhadap eksistensi kebudayaan Indonesia asli.
Penelitian dalam pandangan fenomenologik bermakna memahami peristiwa
dalam kaitannya dengan orang dalam situasi tertentu (Moleong, 1995).
Pemahaman terhadap situasi tertentu menuntut penelitian yang bersifat
natural atau wajar sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi, diatur dengan
eksperimen atau tes, pendekatan tersebut disebut naturalistik
(Nasution, 1988). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pengaruh
budaya pop Korea terhadap eksistensi Kebudayaan asli Indonesia di
kalangan remaja kota Tegal.
3.2 Penentuan Latar Penelitian
Latar
penelitan ini ditentukan, yaitu SMA Negeri 5 Kota Tegal. Dipilihnya SMA
Negeri 5 Kota Tegal atas pertimbangan tujuan penelitian untuk
mendapatkan pola perilaku remaja terhadap budaya pop Korea. Penelitian
di SMA Negeri 5 Kota Tegal diperkirakan sudah dapat mewakili remaja
se-Kota Tegal karena siswa yang menempuh pendidikan di sekolah tersebut
berasal dari berbagai daerah atau kecamatan di Kota Tegal.
3.3 Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Subjek penelitian ditentukan dengan menggunakan purposive sampling,
karena tidak dimaksudkan untuk menentukan wakil populasi, melainkan
untuk menentukan wakil informasi. Oleh karena itu, subjek dalam
penelitian ini adalah semua remaja yang bersekolah di SMA Negeri 5
Tegal. Ketigapuluh remaja tersebut dipandang mampu mewakili informasi
perilaku remaja terhadap budaya pop Korea. Sedangkan, remaja yang akan
diwawancarai hanya lima belas siswa, yaitu sebelas orang perempuan dan
empat orang laki-laki.
Metode
pengumpulan data adalah pengamatan dan wawancara, merupakan metode yang
lazim digunakan oleh para etnograf (Danandjaja 1988: 101). Pengamatan
dan wawancara dibangun sebagaimana dikemukakan oleh Spradley (1980: 34),
dimulai dengan “pengamatan dan wawancara deskriptif, pengamatan
terfokus, wawancara struktural dan pengamatan selektif serta wawancara
secara kontras”.
Untuk penelitian ini digunakan pengamatan terlibat (participation observation) wawancara mendalam dan dokumentasi.
Pengamatan Terlibat
Pada
permulaan pengamatan, peneliti mengamati secara menyeluruh terhadap
semua gejala yang ditemui di lingkungan remaja SMA Negeri 5 Kota Tegal.
Langkah berikutnya memfokuskan diri pada hal-hal yang menjadi objek
penelitian, dan akhirnya secara selektif memilih hal-hal yang khas dan
yang paling relevan untuk diamati dengan lebih cermat.
Pengamatan
sebagai teknik pengumpulan data yang mengandalkan indera mata
dilaksanakan secara terlibat. Dengan metode pengamatan terlibat,
peneliti melibatkan diri dalam kegiatan yang menjadi sasaran penelitian,
tanpa mengakibatkan perubahan yang sudah berjalan.
Pengamatan
terlibat secara umum ditujukan pada pola perilaku remaja terhadap
budaya pop Korea, meliputi pengamatan terhadap penampilan dan minat
remaja terhadap jenis hiburan.
Wawancara
Wawancara
sebagai metode pengumpul data ditujukan kepada informan terpilih.
Informan ini dipilih dengan pertimbangan relevansi kewenangan dan
kemampuannya. Singarimbun dalam Marjuni (2000: 51) berpendapat bahwa
informan haruslah orang yang memiliki pengetahuan dan sikap yang relevan
dengan tujuan penelitian.
Bentuk
wawancara yang digunakan meliputi wawancara bebas terpimpin dan
wawancara sambil lalu. Wawancara bebas terpimpin adalah prosedur
wawancara yang mengikuti pedoman seperlunya. Pedoman wawancara yang
digunakan adalah pedoman wawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara
yang disusun secara terperinci sehingga menyerupai check-list.
Pewawancara tinggal membubuhkan check-list atau melingkari pada nomor
pilihan yang sesuai (Arikunto 1993: 197).
Wawancara
sambil lalu adalah wawancara yang ditujukan kepada orang-orang tanpa
melalui seleksi terlebih dahulu secara teliti, akan tetapi hanya kepada
orang yang dijumpai secara kebetulan. Wawancara sambil lalu ditujukan
kepada remaja yang dijumpai pada saat istirahat atau di luar jam
pelajaran.
Pengamatan Dokumen
Dokumen
yang menjadi sasaran pengamatan adalah apa saja berbentuk artefak yang
dimiliki oleh remaja SMA Negeri 5 Kota Tegal yang berhubungan dengan
budaya pop Korea. Dokumen-dokumen yang diamati adalah artefak atau
benda-benda seperti poster, pin, pakaian, dan foto-foto perilaku remaja
yang mencerminkan budaya pop Korea.
IV. HASIL PENELITIAN
Dalam
bab IV ini dijelaskan (a) Deskripsi umum karaktersitik remaja SMA
Negeri 5 Kota Tegal, (b) Deskripsi hasil penelitian tiap fokus meliputi
deskripsi pola perilaku remaja terhadap budaya pop Korea, pengaruh
budaya pop terhadap perilaku sosial remaja, eksistensi kebudayaan asli
Indonesia berkaitan dengan berkembangnya budaya pop Korea, (c)
Konseptualisasi.
4.1 Deskripsi Umum Karakteristik Remaja SMA Negeri 5 Kota Tegal
SMA
Negeri 5 Tegal terletak di Jalan Kali Kemiri II Margadana dan termasuk
sekolah paling baru di Kota Tegal. Merupakan sekolah berstandar
nasional. Remaja yang belajar di sekolah tersebut kebanyakan berasal
dari daerah Margadana dengan rata-rata tingkat perekonomian menengah.
4.2 Laporan Penelitian Tiap Fokus
Berkembangnya
budaya pop Korea ke negara-negara Eropa juga Asia, memberikan dampak
luar biasa bagi industri hiburan dan mode di negara-negara tersebut,
temasuk di Indonesia. Hallyu di Indonesia menyerang kaum remaja sampai dewasa. Namun, dalam penelitian ini hanya difokuskan pada pola perilaku remaja.
Banyak
kajian yang menggambarkan perilaku fanatik remaja tehadap budaya pop
tersebut. Mulai dari penampilan sampai artefak atau benda-benda yang
berhubungan dengan budaya pop Korea tengah diminati sebagian besar
remaja di Indonesia, termasuk di Kota Tegal.
Pada
pengamatan dan wawancara yang peneliti lakukan di lapangan, menunjukkan
sebagian besar remaja SMA Negeri 5 Kota Tegal mengenal budaya pop
Korea. Hal ini tercermin dari penampilan dan gaya rambut sebagian
remaja di daerah tersebut. Mulai dari potongan rambut sampai cara
menata rambut bagi remaja perempuan.
Pengamatan
dilakukan terhadap seluruh siswa atau remaja SMA Negeri 5 Kota Tegal,
sedangkan wawancara hanya dilakukan kepada 15 orang siswa atau remaja
mengingat banyaknya jumlah populasi remaja di sekolah tersebut. Dari
kelima belas responden yang diwawancarai empat orang diantaranya adalah
remaja laki-laki, sisanya adalah perempuan. Wawancara dilakukan
menggunakan model terstruktur. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sepuluh
orang merupakan penggemar budaya pop Korea, sedangkan lima orang bukan
penggemar budaya pop Korea. Dari kelima orang bukan penggemar, empat
diantaranya laki-laki. Dengan demikian, kebanyakan remaja SMA Negeri 5
Tegal yang menyukai budaya pop Korea adalah perempuan.
Hal
ini juga dibuktikan dari hasil pengamatan peneliti terhadap artefak
yang dimiliki oleh remaja SMA Negeri 5 Kota Tegal. Artefak itu berupa
pin, poster, VCD film dan boy band, serta berbagai
peralatan sekolah bergambar artis Korea. Hasil pengamatan menunjukkan,
remaja yang memiliki artefak yang berhubungan dengan budaya pop Korea
tersebut sebagian besar perempuan.
Beberapa responden mengungkapkan bahwa ia menyukai hiburan Korea karena pengaruh penampilan fisik dan style artis atau boy band
Korea tersebut. Apipah siswa kelas XII SMA Negeri 5 Kota Tegal
menyebutkan, “aku suka dengan film Korea karena aktor dan aktrisnya
cakep-cakep dan cantik-cantik. Ceritanya menarik. Aku juga suka dengan boy band
Korea karena penampilannya keren abis...”. Sedangkan menurut Rita
Ismatul, “aku suka film Korea karena ceritanya sangat romantis membuat
kami semua tertarik”.
Kedua responden di atas menunjukkan respon yang sama yaitu menyukai penampilan dan style
artis Korea, bukan hanya sekadar menyukai cerita yang disuguhkan oleh
film maupun drama seri Korea. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Umu
Aemanal, salah satu remaja penggemar berat hiburan Korea, “aku suka film
dan drama Korea karena ceritanya pendek tapi sangat berkesan. Pemainnya
juga cakep-cakep”.
Ketiga
responden di atas juga memiliki benda-benda atau artefak yang bergambar
artis Korea seperti poster, pin, tempat pensil bergambar artis Korea,
dan beberapa pakaian model orang Korea. Meskipun demikian, mereka tetap
masih menyukai dan menghargai kebudayaan asli Indonesia sebagai
kebudayaan nasional yang patut dihargai.
Seperti
yang dikatakan oleh Trisna, “walaupun aku suka hiburan Korea tetapi aku
tidak lupa dengan lagu-lagu maupun film Indonesia. Aku tetap senang
karena aku hidup di Indonesia jadi walaupun suka dengan hiburan Korea
jangan sampai melupakan kebudayaan kita sendiri”. Trisna juga mengatakan
bahwa sebagai warga negara Indonesia kita tidak boleh terlalu fanatik
dengan kebudayaan Korea.
Penghargaan
terhadap kebudayaan Indonesia juga diperlihatkan oleh Rita,
“Bagaimanapun kebudayaan Indonesia lebih bagus daripada Korea. Kita
harus membuat negara Indonesia lebih maju dengan cara meraih prestasi
yang lebih tinggi”.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya pop Korea berpengaruh
terhadap perilaku remaja, akan tetapi tidak sampai melunturkan apresiasi
terhadap kebudayaan asli Indonesia. Terbukti bahwa responden (remaja)
masih menyukai lagu-lagu maupun film Indonesia sebagai kebudayaan asli
yang patut dilestarikan.
4.3 Konseptualisasi
Menurut Soekanto (2006: 177) bahwa kebudayaan dikatakan masih eksis di suatu negara atau masyarakat apabila kebudayaan itu:
1. Masih diketahui;
2. Masih dipahami atau dimengerti;
3. Masih ditaati;
4. Masih dihargai oleh masyarakat kebudayaan tersebut.
Pendapat Soekanto di atas merupakan pijakan utama dalam mengambil simpulan apakah kebudayaan asli Indonesia masih eksis di tengah-tengah halyyu atau korean wave, khususnya di kalangan remaja Kota Tegal.
Melihat
dari hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan, budaya pop Korea
memberikan dampak yang besar terhadap perilaku sosial remaja di Kota
Tegal terutama dalam hal penampilam (mode) dan kepemilikan artefak yang
berhubungan dengan budaya pop Korea tersebut. Budaya pop Korea yang
berpengaruh pada perilaku sosial remaja masih dalam dimensi konkret.
Pengaruh
budaya pop Korea berbeda antara satu remaja dengan remaja lainnya. Ada
beberapa remaja yang sangat fanatik ada pula yang biasa saja meskipun
mereka termasuk kelompok penggemar Korea. Beberapa remaja yang fanatik
diantaranya, Dewi Sri Wulan (17 tahun), Noti Hori Marunda (17 tahun),
dan Apipah (18 tahun). Menurut Noti, “aku suka banget dengan Korea,
bahkan bisa dibilang fanatik kali ya... Aku punya banyak poster dari
negeri Korea terutama Bae Yong Jun, dia fisiknya oke banget”. Hal ini
ditegaskan pula oleh Apipah, “aku fanatik dengan Korea, setiap hari aku
tidak pernah melewatkan drama seri Korea di salah satu stasiun tivi
kita.”
Sedangkan
Dewi Prasetya Ningrum (16 tahun) merasa biasa saja dengan budaya pop
Korea tersebut, “aku memang penggemar Korea tetapi aku merasa biasa aja,
tidak sampai fanatik. Karena aku kan orang Indonesia, aku harus tetap
menghargai film dan lagu Indonesia dong...”. Hal ini juga dikemukakan
oleh Prita Widyaningrum (18 tahun), “aku merasa biasa aja dengan film
dan boy band Korea dan masih menyukai film-film juga lagu Indonesia karena Indonesia kan negara sendiri yang tidak mungkin dilupakan”.
Beberapa
pendapat di atas menunjukkan bahwa pengaruh budaya pop Korea tidak sama
antara satu remaja dengan remaja yang lainnya. Meskipun demikian, hasil
wawancara menunjukkan bahwa beberapa remaja yang fanatik terhadap
budaya pop Korea ternyata masih memiliki apresiasi terhadap kebudayaan
asli Indonesia. Menurut mereka budaya pop Korea digemarinya agar tidak
ketinggalan zaman. Menurut Dewi Sri Wulan, “aku fanatik dengan hiburan
Korea biar nggak dibilang jadul atau ketinggalan zaman. Mungkin kalau
film-film Korea sudah tidak banyak diminati, aku bisa aja nggak jadi
fanatik lagi”.
Berbeda
dengan Dewi Sri Wulan, Rosmawati mengatakan bahwa ia merasa biasa saja
dan hanya ingin sekadar mengetahui budaya pop Korea sebagai tambahan
pengetahuan, “aku tidak terlalu suka, aku hanya perlu tahu sebagai
tambahan pengetahuan aja. Menurut aku sih kita tidak perlu menyukai
apalagi meniru karena bukan kebudayaan kita”.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa budaya pop Korea memiliki pengaruh pada
perilaku sosial remaja SMA Negeri 5 Kota Tegal terbatas pada dimensi
konkret seperti penampilan dan kepemilikan artefak yang berkaitan dengan
budaya pop Korea. Meskipun demikian, pengaruh yang ditimbulkan tidak
terlalu membahayakan kebudayaan asli kita. Karena sebagian besar dari
mereka (baik penggemar maupun bukan penggemar Korea) masih mengetahui,
memahami atau mengerti, masih mentaati, dan menghargai kebudayaan asli
Indonesia.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa budaya pop Korea yang berkembang di kalangan remaja Kota Tegal hanya merupakan euforia
atau sebagai bentuk aktualisasi diri remaja saja. Aktualisasi merupakan
kebutuhan utama remaja dalam penemuan jati diri mereka. Budaya pop
Korea yang berkembang di kalangan remaja kota Tegal tidak meruntuhkan
eksistensi kebudayaan asli Indonesia.
V. PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan disimpulkan bahwa budaya pop Korea memiliki pengaruh
terhadap pola perilaku sosial remaja di Kota Tegal. Namun, pengaruh
tersebut masih dalam dimensi konkret seperti gaya atau penampilan dan
kepemilikan artefak yang berhubungan dengan hiburan Korea. Budaya pop
Korea tersebut pun tidak mempengaruhi atau menggeser eksistensi
kebudayaan asli Indonesia di kalangan remaja Kota Tegal.
5.2 Saran
Adapun saran yang peneliti ajukan, antara lain:
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan hendaknya mampu menyediakan ruang sebagai
tempat aktualisasi kebudayaan asli Indonesia sehingga remaja sebagai
generasi penerus bangsa memiliki apresiasi yang tinggi terhadap
kelestarian budaya bangsa.
Pemerintah hendaknya memberikan perhatian yang lebih bagi remaja yang menonjol dalam bidang kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Danandjaja. 1988. Antropologi Psikologi. Jakarta: Rajawali.
Effendhie, Machmoed. 1999. Sejarah Budaya. Jakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Marjuni. 2000. Pola Pembinaan Anak Usia Pra-Sekolah Melalui Prinsip-prinsip “Bermain Sambil Belajar”. Tesis. Pascasarjana UNY.
Scribd. 2011. Korean Wave di Indonesia, Budaya Pop Internet, dan Fanatisme Remaja. Online. Diposkan pada 2011 di http://www.scribd.com/doc.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Spradley, J.P.M. 1980. Metode Etnografi. Terjemahan Misbah Imelfa Elisabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suparto. 1985. Sosiologi dan Antropologi SMA Kelas II Semester 3-4 Program Ilmu-ilmu Sosial dan Pengetahuan Budaya. Bandung: Armico.
Tian. 2010. Pola Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia. Online. Diposkan oleh Tiankids pada 2010 di http://tiankids.web.id/pola-kehidupan-sosial-budaya-masyarakat-indonesia.
Wikipedia Bahasa Indonesia. 2010. Korean Wave. Online. Diposkan pada 2010 di http://id.wikipedia.org/wiki/budaya .
Wikipedia Bahasa Indonesia. 2010. Korean Wave. Online. Diposkan pada 2010 di http://id.wikipedia.org/wiki/Korean_wave.
1 komentar:
malam mbak
mbak,,aku ijin kutip tulisan mbak jadi salah satu referensi skripsi aku ya :)
makasih banyak mbak
Posting Komentar